PT GA Tiga Belas atau Toko Buku Gunung Agung menutup semua tokonya di akhir tahun 2023 karena mengalami kerugian besar. Saat ini hanya ada 4 toko yang tersedia, yaitu di Senen, Tanah Abang, Grogol Petamburan, dan Beji. Sudah banyak tokonya yang telah ditutup, termasuk juga cabang Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi, dan Jakarta.
Semenjak tahun 2020 hingga 2022, Gunung Agung telah PHK sepihak sebanyak 220 pekerja. Hingga saat ini, pada tahun 2023, telah PHK mencapai 350 pekerja.
Daftar Isi
Kisah Pendiri Toko Buku Gunung Agung, Tjio Wie Tay
Gunung Agung merupakan perintis toko buku di Indonesia yang sudah ada sejak 1953. Berawal hanya dari kios kecil di Kwitang, Jakarta Pusat yang menjual buku, surat kabar, dan majalah. Pendiri Gunung Agung bernama Tjio Wie Tay. Lahir di Batavia, 8 September 1927, anak dari Tjio Koan An. Seorang teknisi listrik di sebuah perusahaan gas Belanda. Mereka merupakan keluarga yang hidup mapan. Namun, ketika bapaknya meninggal di tahun 1931, yaitu saat Tjio Wie Tay berusia 4 tahun, hidup mereka berubah 180 derajat.
Istri dari Tjio Koan An, Poppy Nio, mulai bekerja untuk menghidupi Tjio dan 3 saudaranya. Semua itu dilakukan agar Tjio dapat masuk ke sekolah Belanda yang mahal. Nasib berjalan baik, Tjio bersekolah di Hollandsch-Chineesche School (HCS) Bogor. Pada kota ini ada pamannya yang diharapkan dapat memantau kelakuan Tjio.
Seiring berjalannya waktu, Tjio tidak berkelakuan sesuai harapan. Ia malah bandel, bolos, dan kerap berkelahi. Bahkan ia sempat 2 kali dikeluarkan dari sekolah. Hingga benar-benar putus sekolah saat ia menduduki bangku kelas 5 SD pada tahun 1940.
Kemudian, Tjio dipulangkan ke ibunya di Jakarta. Akan tetapi, ia lebih memilih untuk membantu ibunya jualan, dibanding melanjutkan sekolah. Ia menjual rokok ketengan secara asongan di bilangan Senen dan Glodok. Mirisnya, modal usaha yang didapat dari hasil mencuri buku pelajaran kakaknya dan dijual ke tukang loak.
Sewaktu berjalan, usaha rokoknya laku keras. Saat berjualan, ia sempat berkenalan dengan pedagang rokok lain, Lie Thay San dan The Kia Hoat. Bisnis Toko Buku Gunung Agung dimulai di sini.
Sejarah Toko Buku Gunung Agung
Saat usianya bahkan belum genap 20 tahun, Tjio bekerjasama dengan mereka untuk membuat perusahaan dagang. Pada awalnya, mereka berjualan rokok dan bir. Akan tetapi, peminat buku di Indonesia tinggi, akhirnya Tjio sebagai pimpinan, mengalihkannya menjadi toko jual-beli buku.
Buku-buku yang dijual berbahasa asing, didapat dari kenalan Tjio yang berasal dari Belanda. Toko pesaing sangat sedikit pada saat itu, yang membuat usaha mereka laris-manis. Tjio hidup mapan.
Setelah berjalan 5 tahun, Tjio mengubah perusahaannya menjadi bentuk firma. Namun, 2 temannya, Lie Thay San & The Kia Hoat tidak sepakat. Akhirnya mereka terpecah-belah.
Pada 8 September 1953, perusahaan Thay San Kongsie yang didirikan oleh Tjio, berubah menjadi NV Gunung Agung. Dibuka di Jalan Kramat 13. Terdapat 10.000 buku dengan modal Rp50.000. Pada zaman dahulu, enggak banyak toko buku yang bisa menjual puluhan ribu buku. Hingga, NV Gunung Agung menjadi sentra jual-beli buku di Jakarta.
Mencoba makin mengembangkan bisnisnya, Tjio mengadakan pameran buku pada tahun 1954. Antusiasme yang besar dari warga, termasuk Soekarno dan Hatta yang juga pecinta buku. Tjio tak ingin melewatkan kesempatan, ia berkenalan dengan Soekarno dan Hatta. Berjalannya waktu, ia berhasil membuka pameran di kota lain dan di luar negeri. Serta, berhasil pula mendirikan cabang di beberapa wilayah di Indonesia.
Pada 1960, NV Gunung Agung menjadi penerbit dan distributor utama Bung Karno. Kerjasama tersebut menaikan popularitas dari toko buku ini. Pada tahun 1970, NV Gunung Agung mencambah bisnis ke sektor pariwisata, hotel, dan money changer.
Tjio Wie Tay berganti namanya menjadi Masagung. Buah dari merambahnya bisnis, ia mendirikan Gunung Agung Group yang terdiri dari PT Gunung Agung (Toko buku dan penerbitan), PT Sari Agung (Toko buku dan alat tulis), PT Inti Idayu Press (Percetakan), PT Ayumas Gunung Agung (Valuta asing), PT Windu Surya, dan PT Inter Delta (Distributor Kodak).
Masa Kehancuran Gunung Agung Group
Pada tahun 1986, Gunung Agung Group diteruskan oleh anak-anak dari Masagung; Putra Masagung, Made Oka Masagung, dan Ketut Masagung. Pada tahun 1991, Gunung Agung Group di Bursa Efek Indonesia melejit pesat, tepat setahun setelah Masagung wafat pada 24 September 1990.
Naas, Gunung Agung Group yang dikelola anak-anaknya terpaksa terpecah-belah. Putra Masagung yang sakit, mengharuskan untuk mundur dan memilih untuk fokus di bisnis toko buku saja, Toko Buku Gunung Agung. Begitu pula dengan Ketut Masagung, ia mundur dari Gunung Agung Group dan memilih fokus untuk mendirikan toko buku sendiri, Toko Buku Walisongo, yang menjual buku-buku islami, berdiri di Jalan Kwitang, dekat Toko Buku Gunung Agung.
Made Oka Masagung yang mengelola Gunung Agung Group secara sendiri, sukses mengembangkannya. Hingga merambah ke jasa keuangan dengan memiliki Bank Arta Prima, money changer (Ayumas Gunung Agung), perusahaan investasi, properti, dan pertambangan.
Sialnya, ekspansi bisnis tak selalu berjalan manis. Gunung Agung Group tersandung banyak masalah. Padahal Mohammad Hatta, H.B. Jassin, dan Adinegoro telah menjadi pemegang saham. Namun, karena kelompok usaha yang didirikan bapaknya terbelit utang sebesar Rp450 miliar, Made Oka Masagung terpaksa menjual 80% sahamnya ke PT Kosgoro. Proses pengalihan saham ke Bank Summa dilakukan lewat saluran telepon internasional, karena Made Oka Masagung sedang dirawat di Rumah Sakit di Amerika Serikat.
Sebaran utang tersebut salah satunya ada di Rp55 miliar ke Bank Summa, bahkan sebagian besar jatuh tempo. Bahkan, proyek lain turut mengalami kerugian, yaitu pertambangan emas di Sukabumi dan pada sektor propertinya.
Baca Juga:
Strategi Email Marketing yang Menarik Perhatian Pelanggan
10 Tips Sukses Mengumpulkan Modal Usaha untuk Memulai Bisnis
Komentar